Jumat, 10 November 2017

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA BERITA HOAX MELALUI SUKI

Internet membawa dampak besar pada dunia pendidikan di Indonesia. Ditinjau dari sisi positif, internet merupakan sumber belajar yang sangat luas. Cukup dengan satu klik, ribuan informasi yang berkaitan dengan kunci pencarian muncul. Sifat internet yang tak mengenal batas tempat dan waktu menjadikan pengetahuan, keterampilan bahkan isu menyebar cepat (viral). Internet juga telah menandai era baru komunikasi. Melalui media sosial, kini setiap orang bebas menunjukkan eksistensinya.
Internet menjadikan setiap orang mudah berbicara, membagi ide serta informasi. Sayangnya, tidak semua informasi di internet dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam dua tahun terakhir, energi kita banyak terkuras untuk membahas banyak berita bohong atau yang kita kenal dengan hoax. Begitu rapi dan tersebarnya hoax sehingga sulit membedakannya dengan berita benar. Kadang justru berita benar tertutupi oleh hoax.
Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Kita dapat mengidentifikasi berita hoax berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Pertama, biasanya berita hoax ditandai dengan judul informasi yang sensasional, mengunakan kata-kata provokatif seperti “Ayo lawan...” atau “Sebarkanlah...”. Kedua, sumber berita hoax biasanya tidak jelas asal-usulnya, bahkan ada juga yang tidak bersumber (Intisari, Juni 2017). Berita hoax telah mengakibatkan banyak dampak buruk pada masyarakat. Salah satunya isu penculikan anak yang meningkatkan kekhawatiran orang tua pada anak. Isu tersebut baru reda setelah pihak kepolisian menyampaikan klarifikasi tidak adanya laporan penculikan anak.
Upaya menanggulangi hoax telah dilakukan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dengan kewenangannya menutup situs-situs penyebar hoax. Berbagai kalangan masyarakat melakukan gerakan anti-hoax, edukasi serta aplikasi untuk memilah informasi. Namun demikian, upaya menangkal hoax paling utama sebenarnya berasal dari konsumen internet itu sendiri. Konsumen harus memiliki sensor pribadi untuk menyeleksi kebenaran dan kepantasan informasi untuk disebarluaskan. Sensor ini akan semakin kuat jika konsumen memiliki wawasan yang luas dan keterampilan untuk berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan abad 21 yang diintegrasikan pada Kurikulum 2013. Hal ini mengindikasikan pentingnya keterampilan ini, terlebih saat seseorang dihadapkan pada berbagai informasi, menyaring serta menggunakan informasi tersebut. Salah satu upaya penulis untuk mengembangkan keterampilan ini yaitu dengan mengembangkan Soal Uji Kebenaran Informasi (SUKI). Siswa disajikan sejumlah pernyataan yang belum teruji kebenarannya. Tugas siswa yaitu memeriksa kebenaran informasi tersebut dengan mencari penjelasan pada buku sumber dan internet. Dengan kegiatan ini, diharapkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis meningkat, sehingga kemampuan menyaring informasi semakin baik.
Berpikir kritis merupakan salah satu bentuk keterampilan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skill/ HOTS). Indikator berpikir kritis dibagi menjadi lima kelompok, yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, membuat penjelasan lanjut dan mengatur strategi dan teknik.
Pada praktiknya, penyajian SUKI mengikuti alur model pembelajaran berbasis masalah. Tahap pertama, orientasi masalah. Pada tahap ini, guru menyampaikan pentingnya menyaring informasi dari internet. Guru juga memberikan penjelasan kegiatan ini sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang nantinya bermanfaat bagi siswa di masa yang akan datang. Tahap kedua, mengorganisasikan siswa. Guru membagikan SUKI pada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok. Tahap ketiga, membimbing penyelidikan siswa. Pada tahap ini, guru mengarahkan siswa untuk menemukan kata kunci pada tiap butir soal untuk memudahkan siswa menelusuri penjelasan pada buku sumber. Pada beberapa soal, siswa dilatih untuk menyimpulkan bacaan untuk menuliskan penjelasan yang tepat. Tahap keempat, penyajian hasil karya. Pada tahap ini, siswa menuliskan hasil penyelidikan di papan tulis. Tahap kelima, guru dan siswa melakukan konfirmasi hasil. Pada setiap nomor soal, guru meminta pendapat siswa lain kemudian menyimpulkan penjelasan soal. Kegiatan pembelajaran ditutup dengan kesimpulan yang disusun bersama siswa serta memberikan penghargaan pada siswa. Bagi siswa yang menuliskan lebih dari delapan penjelasan yang tepat, guru memberikan penghargaan berupa pujian dan memberikan gelar “Duta Informasi Benar” pada siswa tersebut.
Selama proses pembelaran, guru mencatat hasil pengamatan yang menjadi butir penting bagi perbaikan selanjutnya. Secara umum, pembelajaran berlangsung lancar, sebagian besar siswa juga menunjukkan minatnya dalam mengikuti kegiatan. Kendala muncul pada tahap orientasi masalah dan penyelidikan siswa. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami petunjuk soal. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat siswa terbiasa mengerjakan soal dalam bentuk pilihan ganda dan uraian. Untuk mengatasi hal ini, guru menggambarkan proses pengerjaan salah satu soal. Pada tahap penyelidikan, siswa mengalami kesulitan dalam menemukan kata kunci sehingga penelusuran informasi menjadi tidak efisien. Siswa juga mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan sederhana, menyimpulkan serta membuat penjelasan lanjut pada soal. Dari hasil pengamatan guru, keterampilan membaca siswa memang rendah sehingga sebagian siswa salah memahami bahkan menarik kesimpulan bacaan. Solusi untuk hal ini tidak dapat diperoleh dalam jangka pendek. Guru dan sekolah harus membuat atmosfer yang nyaman untuk menumbuhkan minat baca. Gerakan literasi yang sinergis, penambahan jumlah buku, ruang perpustakaan yang nyaman, serta sarana dan prasarana yang memadai diharapkan dapat mendorong siswa untuk semakin giat membaca.

Kegiatan pembelajaran yang menyajikan SUKI untuk pertama kalinya ini tentu saja belum bisa menjadi tolak ukur meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa. Secara umum, siswa perlu membiasakan diri dengan aktivitas membaca. Guru dan sekolah juga harus mulai memikirkan keterampilan ini. Dengan dukungan semua pihak, diharapkan keterampilan berpikir kritis pada siswa dapat terus ditumbuhkan, khusunya untuk menangkal berita hoax.

Lampiran SUKI (KLIK DISINI)