Internet membawa dampak besar pada dunia
pendidikan di Indonesia. Ditinjau dari sisi positif, internet merupakan sumber belajar
yang sangat luas. Cukup dengan satu klik, ribuan informasi yang berkaitan
dengan kunci pencarian muncul. Sifat internet yang tak mengenal batas tempat
dan waktu menjadikan pengetahuan, keterampilan bahkan isu menyebar cepat
(viral). Internet juga telah menandai era baru komunikasi. Melalui media
sosial, kini setiap orang bebas menunjukkan eksistensinya.
Internet menjadikan setiap orang mudah
berbicara, membagi ide serta informasi. Sayangnya, tidak semua informasi di
internet dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam dua tahun terakhir,
energi kita banyak terkuras untuk membahas banyak berita bohong atau yang kita
kenal dengan hoax. Begitu rapi dan tersebarnya hoax sehingga sulit
membedakannya dengan berita benar. Kadang justru berita benar tertutupi oleh
hoax.
Hoax adalah usaha
untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai
sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu
bahwa berita tersebut adalah palsu. Kita dapat
mengidentifikasi berita hoax berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Pertama,
biasanya berita hoax ditandai dengan judul informasi yang sensasional,
mengunakan kata-kata provokatif seperti “Ayo lawan...” atau “Sebarkanlah...”. Kedua,
sumber berita hoax biasanya tidak jelas asal-usulnya, bahkan ada juga yang
tidak bersumber (Intisari, Juni 2017). Berita hoax telah mengakibatkan banyak dampak
buruk pada masyarakat. Salah satunya isu penculikan anak yang meningkatkan
kekhawatiran orang tua pada anak. Isu tersebut baru reda setelah pihak
kepolisian menyampaikan klarifikasi tidak adanya laporan penculikan anak.
Upaya menanggulangi hoax telah dilakukan
pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dengan kewenangannya menutup situs-situs
penyebar hoax. Berbagai kalangan masyarakat melakukan gerakan anti-hoax,
edukasi serta aplikasi untuk memilah informasi. Namun demikian, upaya menangkal
hoax paling utama sebenarnya berasal dari konsumen internet itu sendiri. Konsumen
harus memiliki sensor pribadi untuk menyeleksi kebenaran dan kepantasan informasi
untuk disebarluaskan. Sensor ini akan semakin kuat jika konsumen memiliki
wawasan yang luas dan keterampilan untuk berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan
abad 21 yang diintegrasikan pada Kurikulum 2013. Hal ini mengindikasikan
pentingnya keterampilan ini, terlebih saat seseorang dihadapkan pada berbagai
informasi, menyaring serta menggunakan informasi tersebut. Salah satu upaya
penulis untuk mengembangkan keterampilan ini yaitu dengan mengembangkan Soal Uji
Kebenaran Informasi (SUKI). Siswa disajikan sejumlah pernyataan yang belum
teruji kebenarannya. Tugas siswa yaitu memeriksa kebenaran informasi tersebut
dengan mencari penjelasan pada buku sumber dan internet. Dengan kegiatan ini,
diharapkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis meningkat, sehingga kemampuan
menyaring informasi semakin baik.
Berpikir kritis merupakan salah satu
bentuk keterampilan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skill/ HOTS). Indikator berpikir kritis dibagi
menjadi lima kelompok, yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun
keterampilan dasar, menyimpulkan, membuat penjelasan lanjut dan mengatur
strategi dan teknik.
Pada praktiknya, penyajian SUKI
mengikuti alur model pembelajaran berbasis masalah. Tahap pertama, orientasi
masalah. Pada tahap ini, guru menyampaikan pentingnya menyaring informasi dari
internet. Guru juga memberikan penjelasan kegiatan ini sebagai upaya untuk
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang nantinya bermanfaat bagi siswa
di masa yang akan datang. Tahap kedua, mengorganisasikan siswa. Guru membagikan
SUKI pada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok. Tahap ketiga, membimbing
penyelidikan siswa. Pada tahap ini, guru mengarahkan siswa untuk menemukan kata
kunci pada tiap butir soal untuk memudahkan siswa menelusuri penjelasan pada
buku sumber. Pada beberapa soal, siswa dilatih untuk menyimpulkan bacaan untuk
menuliskan penjelasan yang tepat. Tahap keempat, penyajian hasil karya. Pada tahap
ini, siswa menuliskan hasil penyelidikan di papan tulis. Tahap kelima, guru dan
siswa melakukan konfirmasi hasil. Pada setiap nomor soal, guru meminta pendapat
siswa lain kemudian menyimpulkan penjelasan soal. Kegiatan pembelajaran ditutup
dengan kesimpulan yang disusun bersama siswa serta memberikan penghargaan pada
siswa. Bagi siswa yang menuliskan lebih dari delapan penjelasan yang tepat,
guru memberikan penghargaan berupa pujian dan memberikan gelar “Duta Informasi
Benar” pada siswa tersebut.
Selama proses pembelaran, guru mencatat
hasil pengamatan yang menjadi butir penting bagi perbaikan selanjutnya. Secara umum,
pembelajaran berlangsung lancar, sebagian besar siswa juga menunjukkan minatnya
dalam mengikuti kegiatan. Kendala muncul pada tahap orientasi masalah dan
penyelidikan siswa. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami petunjuk soal. Hal
ini dapat dimaklumi, mengingat siswa terbiasa mengerjakan soal dalam bentuk
pilihan ganda dan uraian. Untuk mengatasi hal ini, guru menggambarkan proses pengerjaan
salah satu soal. Pada tahap penyelidikan, siswa mengalami kesulitan dalam
menemukan kata kunci sehingga penelusuran informasi menjadi tidak efisien. Siswa
juga mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan sederhana, menyimpulkan
serta membuat penjelasan lanjut pada soal. Dari hasil pengamatan guru, keterampilan
membaca siswa memang rendah sehingga sebagian siswa salah memahami bahkan
menarik kesimpulan bacaan. Solusi untuk hal ini tidak dapat diperoleh dalam
jangka pendek. Guru dan sekolah harus membuat atmosfer yang nyaman untuk
menumbuhkan minat baca. Gerakan literasi yang sinergis, penambahan jumlah buku,
ruang perpustakaan yang nyaman, serta sarana dan prasarana yang memadai
diharapkan dapat mendorong siswa untuk semakin giat membaca.
Kegiatan pembelajaran yang menyajikan
SUKI untuk pertama kalinya ini tentu saja belum bisa menjadi tolak ukur
meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa. Secara umum, siswa perlu membiasakan
diri dengan aktivitas membaca. Guru dan sekolah juga harus mulai memikirkan keterampilan
ini. Dengan dukungan semua pihak, diharapkan keterampilan berpikir kritis pada
siswa dapat terus ditumbuhkan, khusunya untuk menangkal berita hoax.
Lampiran SUKI (KLIK DISINI)